Asuransi adalah salah satu produk keuangan yang sangat penting untuk melindungi diri dan keluarga dari berbagai risiko yang mungkin terjadi di masa depan. Dengan memiliki asuransi, kita dapat merasa lebih tenang dan nyaman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Namun, tahukah Anda bahwa produk asuransi yang kita kenal saat ini tidak hanya asuransi biasa atau konvensional saja, melainkan sekarang sudah ada terobosan baru dalam dunia asuransi, yaitu asuransi syariah?
Asuransi syariah memiliki beberapa perbedaan dengan asuransi konvensional, baik dari segi kontrak, kepemilikan dana, surplus underwriting, pengawasan syariah, transaksi yang dilarang, maupun status halalnya. Artikel ini akan membahas lebih lanjut tentang apa saja perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional, khususnya bagi Anda yang ingin mengetahui lebih dalam tentang produk asuransi yang sesuai dengan syariah agama.
Apa itu Asuransi Syariah?
Asuransi syariah adalah produk asuransi yang beroperasi dengan menggunakan sistem tabarru’ atau sumbangan sukarela, yang berarti nasabah yang menjadi anggota asuransi syariah saling membantu dan menanggung risiko satu sama lain. Asuransi syariah tidak mengenal konsep premi atau biaya asuransi, melainkan kontribusi atau iuran yang dibayarkan oleh nasabah sebagai bentuk partisipasi dalam asuransi syariah. Kontribusi ini kemudian dikelola oleh perusahaan asuransi syariah dalam bentuk dana tabarru’, yang digunakan untuk membayar klaim atau santunan kepada nasabah yang mengalami risiko yang diasuransikan.
Perbedaan Asuransi Syariah dengan Asuransi Konvensional
Asuransi syariah memiliki beberapa perbedaan dengan asuransi konvensional, yang dapat dilihat dari beberapa aspek berikut:
Kontrak/Perjanjian/Akad
Kontrak atau perjanjian atau akad adalah dasar hukum yang mengikat antara nasabah dan perusahaan asuransi, yang mengatur tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dalam asuransi syariah, kontrak yang digunakan adalah akad tabarru’, yang berarti bahwa nasabah menyumbangkan sebagian dari kontribusinya kepada dana tabarru’, yang digunakan untuk membantu nasabah lain yang mengalami risiko yang diasuransikan.
Kontrak tabarru’ ini mengandung unsur sharing risk, yaitu pembagian risiko antara nasabah dan perusahaan asuransi. Selain akad tabarru’, asuransi syariah juga menggunakan akad-akad lain yang sesuai dengan syariah, seperti akad wakalah (perwakilan), akad mudharabah (kerjasama), atau akad ju’alah (imbalan).
Kepemilikan Dana
Kepemilikan dana adalah status hukum yang menunjukkan siapa yang memiliki hak atas dana yang dikelola oleh perusahaan asuransi. Dalam asuransi syariah, dana yang berasal dari kontribusi yang dibayarkan oleh nasabah menjadi milik nasabah, yang kemudian dikelola oleh perusahaan asuransi syariah dalam bentuk dana tabarru’.
Nasabah memiliki hak atas dana tersebut, baik untuk mendapatkan klaim, maupun untuk mendapatkan surplus underwriting, yaitu sisa dana tabarru’ setelah dikurangi klaim dan biaya operasional. Surplus underwriting ini dibagikan kepada nasabah secara proporsional sesuai dengan kontribusi yang mereka bayarkan.
Surplus Underwriting
Surplus underwriting adalah kelebihan dana tabarru’ yang tersedia setelah dikurangi klaim dan biaya operasional. Surplus underwriting ini merupakan salah satu keunggulan asuransi syariah, karena menunjukkan bahwa asuransi syariah mampu mengelola dana tabarru’ dengan efisien dan efektif, sehingga dapat memberikan manfaat tambahan kepada nasabah. Surplus underwriting ini dibagikan kepada nasabah secara proporsional sesuai dengan kontribusi yang mereka bayarkan, atau sesuai dengan kesepakatan antara nasabah dan perusahaan asuransi syariah.
Namun, perlu dicatat bahwa surplus underwriting ini sifatnya tidak dijamin, karena hanya terjadi apabila kontribusi yang masuk lebih banyak dibandingkan dengan klaim yang diambil. Jika sebaliknya, maka tidak ada surplus underwriting yang dibagikan, melainkan perusahaan asuransi syariah harus menambahkan dana tabarru’ dari dana cadangan atau dana lain yang sesuai dengan syariah. Oleh karena itu, nasabah asuransi syariah tidak boleh mengharapkan atau menuntut adanya surplus underwriting, melainkan harus menganggapnya sebagai bonus atau hadiah yang diberikan oleh perusahaan asuransi syariah.
Memiliki Dewan Pengawas Syariah
Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah lembaga yang bertugas untuk mengawasi dan menjamin bahwa operasional dan produk asuransi syariah sesuai dengan syariah Islam. DPS terdiri dari para ulama, ahli syariah, dan praktisi asuransi syariah, yang memberikan fatwa, saran, dan rekomendasi kepada perusahaan asuransi syariah. DPS juga bertanggung jawab untuk mengaudit dan mengevaluasi kinerja asuransi syariah secara berkala.
DPS adalah salah satu ciri khas asuransi syariah, yang tidak dimiliki oleh asuransi konvensional. Dengan adanya DPS, nasabah asuransi syariah dapat merasa lebih yakin dan percaya bahwa produk asuransi yang mereka gunakan tidak bertentangan dengan syariah agama.
Tidak Melakukan Transaksi yang Dilarang Dalam Keuangan Syariah
Transaksi yang dilarang dalam keuangan syariah adalah transaksi yang mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan syariah Islam, seperti riba (bunga), gharar (ketidakpastian), maysir (spekulasi), atau haram (terlarang). Transaksi-transaksi ini dianggap tidak adil, tidak etis, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai kesejahteraan dan keadilan sosial yang diajarkan oleh Islam.
Halal
Dalam asuransi syariah, status halalnya sudah terjamin, karena tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam syariah Islam, melainkan mengikuti prinsip-prinsip syariah yang adil, etis, dan bermanfaat.
Salah satu bukti bahwa asuransi syariah sudah halal adalah adanya fatwa DSN-MUI yang menyatakan bahwa asuransi syariah sudah masuk ke dalam kategori halal. Fatwa DSN-MUI adalah keputusan hukum Islam yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), yang merupakan lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa tentang hal-hal yang berkaitan dengan syariah Islam di Indonesia. Fatwa DSN-MUI tentang asuransi syariah adalah sebagai berikut:
- Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Asuransi Jiwa Syariah, yang menyatakan bahwa asuransi jiwa syariah adalah halal dan diperbolehkan, dengan menggunakan akad tabarru’ dan akad mudharabah.
- Fatwa DSN-MUI No. 39/DSN-MUI/X/2002 tentang Asuransi Umum Syariah, yang menyatakan bahwa asuransi umum syariah adalah halal dan diperbolehkan, dengan menggunakan akad tabarru’ dan akad wakalah.
- Fatwa DSN-MUI No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Asuransi Kesehatan Syariah, yang menyatakan bahwa asuransi kesehatan syariah adalah halal dan diperbolehkan, dengan menggunakan akad tabarru’ dan akad wakalah.
- Fatwa DSN-MUI No. 63/DSN-MUI/IV/2006 tentang Asuransi Rekayasa Syariah, yang menyatakan bahwa asuransi rekayasa syariah adalah halal dan diperbolehkan, dengan menggunakan akad tabarru’ dan akad wakalah.
- Fatwa DSN-MUI No. 64/DSN-MUI/IV/2006 tentang Asuransi Pengangkutan Syariah, yang menyatakan bahwa asuransi pengangkutan syariah adalah halal dan diperbolehkan, dengan menggunakan akad tabarru’ dan akad wakalah.
- Fatwa DSN-MUI No. 65/DSN-MUI/IV/2006 tentang Asuransi Tanggung Gugat Syariah, yang menyatakan bahwa asuransi tanggung gugat syariah adalah halal dan diperbolehkan, dengan menggunakan akad tabarru’ dan akad wakalah.
Dengan adanya fatwa DSN-MUI ini, umat Islam dapat lebih yakin dan percaya bahwa asuransi syariah sudah halal dan sesuai dengan syariah Islam.
Dapat disimpulkan bahwa perbedaan-perbedaan ini menunjukkan bahwa asuransi syariah lebih sesuai dengan syariah Islam, dan lebih mengutamakan nilai-nilai kesejahteraan dan keadilan sosial. Asuransi syariah juga merupakan produk asuransi yang sama penting, karena dengan asuransi syariah, seorang nasabah dapat merasa aman dan juga secara bersamaan merasa saling membantu sesama anggota lainnya.
Kini, Tugu Insurance hadir dengan produk perlindungan asuransi syariah yang lengkap dengan mengedepankan semangat saling berbagi dan saling melindungi antar sesama dengan praktik dan pengelolaan dana yang profesional sesuai prinsip-prinsip Syariah yang diawasi oleh Dewan Syariah Nasional-MUI, Yuk Coba sekarang!